Pendahuluan
Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR), Luthfi Hakim, memberikan respons resmi terkait penangkapan sejumlah anggotanya yang diduga melakukan pemerasan di wilayah Depok dan Jakarta Selatan. Kasus ini menarik perhatian publik karena melibatkan organisasi masyarakat yang selama ini dikenal aktif di komunitas Betawi.
Polda Metro Jaya menangkap Ketua FBR Bojongsari beserta beberapa anggotanya yang diduga melakukan pemerasan terhadap pedagang asongan, pekerja bangunan, dan pemilik toko dengan memungut uang secara paksa sejak tahun 2021. Tindakan tersebut telah menimbulkan keresahan di masyarakat sekitar.
Analisis Penyebab Viral dan Dampak Sosial
Kasus pemerasan yang melibatkan oknum anggota ormas FBR menjadi viral di media sosial dan pemberitaan nasional karena beberapa faktor. Pertama, organisasi ini memiliki pengaruh besar di kalangan masyarakat Betawi, sehingga tindakan pelanggaran yang dilakukan anggotanya berdampak luas pada citra organisasi. Kedua, modus operandi memeras dengan dalih uang keamanan atau pungutan liar yang merugikan pelaku usaha mikro di wilayah tersebut menimbulkan emosi dan kepedulian publik yang tinggi.
Dampak sosial dari kejadian ini cukup signifikan. Masyarakat merasa kurang aman dalam menjalankan aktivitas ekonomi sehari-hari. Kepercayaan terhadap organisasi masyarakat seperti FBR menjadi menurun, dan memunculkan pertanyaan bagaimana kontrol internal terhadap anggotanya. Selain itu, kasus ini menggarisbawahi persoalan premanisme yang masih meresahkan di berbagai kota besar di Indonesia.
Sudut Pandang Unik
Walaupun anggota FBR yang terlibat diduga melakukan tindakan kriminal, Luthfi Hakim sebagai Ketua Umum FBR menyatakan dukungan penuh terhadap proses hukum yang berjalan. Ia juga mengingatkan anggota lain untuk tidak meniru perilaku merugikan tersebut dan menyiapkan sanksi tegas seperti pencabutan kartu tanda anggota (KTA) sementara hingga pemberhentian keanggotaan bagi anggota bermasalah.
Langkah ini menunjukkan upaya organisasi untuk memperbaiki citranya dan menegakkan disiplin internal. Namun, keberhasilan pembinaan ini sangat bergantung pada implementasi yang konsisten serta pengawasan dari masyarakat dan aparat penegak hukum.
Data Pendukung dan Statistik Kasus
Penangkapan dilakukan oleh Subdit Jatanras Polda Metro Jaya pada 16 Mei 2025, bertepatan dengan Operasi Berantas Jaya. Tersangka utama berinisial M (Ketua FBR Bojongsari) dan empat anggota lainnya. Seorang anggota lain di Jakarta Selatan berinisial J juga ditangkap atas dugaan pemerasan dengan modus pungutan uang keamanan selama lima tahun terakhir.
Menurut Kasubdit Jatanras, AKBP Abdul Rahim, pemerasan tersebut telah membuat masyarakat resah dan merugikan banyak pihak, khususnya pedagang kecil dan pekerja informal. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana premanisme dan pungutan liar masih merajalela di beberapa daerah meskipun aparat keamanan telah melakukan berbagai operasi penertiban.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kasus dugaan pemerasan oleh oknum anggota FBR ini menjadi pelajaran penting bagi organisasi kemasyarakatan lain untuk menguatkan pengawasan internal dan memperketat mekanisme keanggotaan. Organisasi harus berkomitmen penuh dalam menjaga nama baik dan menghindarkan anggota dari kegiatan ilegal yang berpotensi merusak kepercayaan publik.
Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu terus memperkuat koordinasi dengan ormas dan komunitas lokal untuk mencegah praktik premanisme. Masyarakat juga diharapkan turut aktif mengawasi dan melapor jika menemukan tindakan pemerasan atau pungutan liar.
Dengan dukungan sinergis antara organisasi masyarakat, aparat keamanan, dan warga, tercipta iklim sosial yang kondusif, aman, dan mendukung kegiatan ekonomi yang sehat di wilayah-wilayah rawan.