Pendahuluan
Tradisi literasi bukan hal baru dalam dunia pesantren. Sejak awal berdiri, pesantren telah dikenal memiliki budaya membaca dan menulis yang sangat kental. Budaya literasi ini berakar pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung perintah untuk membaca (Q.S. al-Alaq [96]: 1-3). Membaca dalam konteks ini berarti mengenal Tuhan, memahami ayat-ayat wahyu, dan juga fenomena alam sebagai tanda kebesaran-Nya.
Seiring waktu, semangat membaca diikuti dengan semangat menulis. Pada masa Nabi Muhammad SAW, sahabat mencatat wahyu yang turun menggunakan berbagai media mulai dari kulit hewan hingga kayu dan batu. Tradisi ini kemudian berkembang hingga masa khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan yang mengkodifikasikan Alquran secara resmi ke dalam sebuah kitab. Tradisi ini juga melahirkan catatan hadis yang dikumpulkan dari para sahabat. Budaya literasi yang kuat ini turut mendukung kemajuan ilmu pengetahuan pada era kekhilafahan Islam.
Analisis
Budaya literasi pesantren memiliki akar sejarah yang kokoh dan kedudukan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan keimanan umat Islam. Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam memiliki peran strategis dalam menjaga tradisi ini.
Keruntuhan kekhilafahan Islam berdampak pada menurunnya semangat literasi dan kemajuan peradaban Islam. Namun demikian, semangat kebangkitan umat Islam terus berlanjut melalui peran para ulama yang giat berdakwah dan menulis kitab sebagai media penyaluran ilmu dan nasehat.
Dakwah bil-kitabah (dakwah melalui tulisan) terbukti menjadi metode efektif sejak masa Nabi Muhammad SAW, yang menggunakan surat-surat untuk berdakwah kepada raja-raja di luar Arab. Para ulama pembaharu seperti Hasan al-Banna juga mengaktifkan dakwah melalui tulisan, misalnya dengan membuat buletin dakwah. Literasi menjadi pondasi penting dalam pengembangan dakwah dan peradaban Islam masa kini dan masa depan.
Data Pendukung
Sejarah mencatat berbagai pencapaian besar bangsa Islam yang didorong oleh budaya literasi yang kuat. Pada masa kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Turki Utsmani, literasi mendapatkan dukungan khalifah sehingga perkembangan ilmu pengetahuan pesat di berbagai bidang seperti astronomi, kedokteran, dan politik.
Misalnya, pengkodifikasian Alquran selesai pada masa khalifah Utsman bin Affan sebagai bukti kuatnya tradisi literasi. Selain itu, ulama besar seperti Hasan al-Banna yang produktif menulis juga menjadi bukti betapa literasi menjadi alat utama dalam dakwah dan pendidikan umat.
Kesimpulan
Untuk mengembalikan dan memperkuat budaya literasi pesantren, ada beberapa langkah penting yang dapat dilakukan:
- Menyediakan fasilitas literasi yang memadai, seperti perpustakaan lengkap di setiap bagian pesantren dan ruang publik.
- Memberikan teladan dari pimpinan kepada seluruh staf dan santri dalam mempraktikkan budaya literasi.
- Melaksanakan program sehari bersama buku secara rutin untuk menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis.
- Menganalisa setiap perencanaan program dengan proses literasi sebagai pijakan ilmiah.
- Menghidupkan kajian kitab dan program pelatihan untuk meningkatkan wawasan literasi anggota pesantren.
- Menyediakan media publikasi seperti majalah dinding (mading) sebagai sarana hasil literasi.
- Mengadakan lomba literasi dan kegiatan pengembangan lainnya yang sesuai perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan upaya berkelanjutan dan adaptasi terhadap kebutuhan zaman, pesantren dapat menjadi pusat lahirnya para literat hebat yang menjaga dan mengembangkan peradaban Islam di masa depan.
Ditulis oleh Pendidik di Pesantren Husnul Khotimah Kuningan