Luas Minimal Rumah Subsidi Bakal Menciut?

Pendahuluan

Pemerintah tengah mengkaji rencana untuk memperkecil luas lahan dan bangunan rumah subsidi sebagai upaya untuk memberi opsi yang lebih variatif dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rencana ini tercantum dalam draf aturan terbaru Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PKP) yang mengatur batasan luas lahan, luas lantai, harga jual rumah, dan besaran subsidi bantuan uang muka perumahan.

Aturan lama, yaitu Keputusan Menteri PUPR No 995/KPTS/M/2021, menetapkan batas luas tanah minimum 60 meter persegi dan maksimum 200 meter persegi serta luas rumah subsidi minimum 21 meter persegi dan maksimum 36 meter persegi. Namun, pemerintah mempertimbangkan penyesuaian batas minimal luas rumah subsidi menjadi sekecil 18 meter persegi, terutama di wilayah dengan keterbatasan lahan seperti Jabodetabek.

Analisis

Viralnya rencana ini disebabkan oleh potensi dampaknya yang signifikan terhadap kualitas hunian dan gaya hidup masyarakat berpenghasilan rendah. Penurunan luas rumah subsidi menjadi 18 meter persegi memicu perdebatan mengenai kelayakan dan kenyamanan hunian tersebut.

Pada satu sisi, ukuran rumah yang lebih kecil diharapkan dapat mendorong pemerataan akses perumahan subsidi, terutama di kawasan perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan dan harga tanah yang mahal. Ini juga bisa mempermudah masyarakat lajang atau keluarga kecil untuk memiliki hunian yang terjangkau dekat pusat kota.

Namun, penurunan luas ini juga menuai kritik dari kalangan pengembang yang menilai rumah dengan ukuran tersebut kurang layak huni bagi keluarga yang beranggotakan lebih dari satu orang. Keterbatasan ruang akan menyulitkan perluasan bangunan dan berpotensi menimbulkan hunian kumuh serta penyalahgunaan dalam proses jual-beli rumah subsidi.

Dampak Sosial

Dampak sosial yang mungkin timbul dari rencana ini meliputi menurunnya kualitas hidup keluarga berpenghasilan rendah jika hunian yang tersedia terlalu sempit. Apartemen atau rumah kos mungkin lebih sesuai untuk ukuran semacam ini, sementara rumah subsidi dengan nama rumah tapak harus mempertimbangkan kebutuhan ruang lebih luas untuk kenyamanan penghuni dalam jangka panjang.

Keterbatasan lahan mengharuskan kebijakan yang memasukkan kompromi antara keterjangkauan dan kualitas hunian. Jika tidak, akan muncul perumahan yang tidak memenuhi standar kesehatan dan kehidupan layak yang dapat memperburuk kondisi sosial dan lingkungan permukiman.

Data Pendukung

Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, Sri Haryati, menyampaikan bahwa aturan baru ini masih dalam tahap pembahasan dan uji coba. Ia menjelaskan bahwa ukuran minimal 18 meter persegi ini dapat memenuhi kebutuhan individu lajang dengan kebutuhan ruang minimal sekitar 9 meter persegi per orang, yang dianggap layak untuk tempat tinggal sementara.

Di sisi lain, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Junaidi Abdillah, menganggap ukuran tersebut tidak manusiawi untuk keluarga karena sangat terbatas dan sulit untuk dikembangkan terutama tanpa biaya tambahan yang tinggi untuk membangun lantai kedua.

Junaidi juga memperingatkan potensi risiko munculnya rumah kumuh dan penyalahgunaan dalam penjualan rumah subsidi. Ia menekankan bahwa rumah ukuran 18 meter persegi lebih sesuai dipakai untuk apartemen, konrakan, rumah singgah, atau penghuni lajang, bukan hunian jangka panjang keluarga.

Kesimpulan

Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengurangan luas rumah subsidi membawa dua sisi yaitu potensi memperluas akses perumahan murah di area perkotaan dengan keterbatasan lahan, dan risiko menurunnya kualitas hunian yang berimbas pada kesejahteraan penghuninya. Evaluasi mendalam dan partisipasi berbagai pemangku kepentingan menjadi kunci agar kebijakan ini berjalan efektif dan adil.

Rekomendasi yang dapat diajukan antara lain memastikan rumah subsidi ukuran kecil memiliki standar minimal yang menjamin kesehatan dan kenyamanan, memberikan opsi tipe rumah yang sesuai kebutuhan keluarga maupun individu, dan pengawasan ketat untuk mencegah penyalahgunaan penjualan rumah subsidi.

Pemerintah juga dapat mempertimbangkan alternatif hunian vertikal seperti apartemen subsidi untuk lahan terbatas, serta terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terkait pemanfaatan rumah subsidi dengan bijak.

Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menjadi solusi inovatif dalam mengatasi masalah perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah tanpa mengesampingkan kualitas dan keberlanjutan hunian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *