Pendahuluan
Mahkamah Agung (MA) RI menggelar pembinaan administrasi dan teknis yudisial bagi hakim di lingkungan peradilan umum se-Jakarta. Ketua MA RI, Sunarto, mengingatkan para hakim untuk meningkatkan kepercayaan publik. Dalam pembinaan tersebut, Sunarto menegaskan bahwa menjadi hakim bukanlah tugas mudah dan hakim tidak bisa dianggap malaikat, namun juga jangan menjadi ‘setan’.
Analisis
Pernyataan Ketua MA ini memuat pesan penting mengenai kemanusiaan dan integritas dalam profesi hakim. Hakim sebagai penegak hukum berada dalam posisi yang sangat strategis dan penuh tanggung jawab karena mereka adalah wakil Tuhan di dunia yang memutuskan keadilan. Oleh karena itu, walaupun hakim adalah manusia biasa yang bisa berbuat salah, mereka harus berusaha keras untuk tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan kemaksiatan. Pernyataan ini mengindikasikan adanya kesadaran dan dorongan dari pimpinan tertinggi peradilan untuk menjaga martabat dan integritas lembaga peradilan agar kepercayaan publik tetap terjaga dan bahkan meningkat.
Dampak sosial dari pidato ini juga sangat penting untuk membangun persepsi positif masyarakat terhadap peradilan. Ketika publik menyadari bahwa hakim bukan makhluk sempurna, namun bertanggung jawab dan terus berupaya menjaga moral, hal ini bisa mengurangi rasa skeptisisme dan kecurigaan terhadap sistem peradilan.
Selain itu, perhatian pada era digital yang seperti akuarium, di mana segala gerak-gerik hakim bisa mudah diketahui dan dipantau, menjadi pengingat agar hakim selalu berhati-hati dan akuntabel dalam tindakan dan perilaku mereka. Transparansi dan pengawasan digital ini dapat menjadi mekanisme efektif untuk mencegah korupsi dan deviasi etika dalam lembaga peradilan.
Data Pendukung
Menurut data dari Transparency International, indeks persepsi korupsi di bidang kehakiman adalah salah satu indikator utama kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum. Negara-negara dengan indeks kepercayaan yang tinggi biasanya memiliki lembaga peradilan yang transparan, akuntabel, dan memiliki integritas tinggi. Indonesia sendiri masih menghadapi tantangan dalam hal itu, sehingga dorongan dari Ketua MA sangat strategis.
Dalam beberapa tahun terakhir, MA juga telah meningkatkan pengawasan terhadap perilaku hakim dan menerapkan berbagai sanksi bagi hakim yang terbukti melakukan pelanggaran etik maupun korupsi. Ini termasuk rotasi dan pembinaan yang intensif. Pesan seperti yang disampaikan Sunarto menjadi bagian dari upaya membudayakan norma-norma moral dan profesionalisme di kalangan hakim.
Kesimpulan
Pesan Ketua MA, Sunarto, menekankan pentingnya integritas dan akuntabilitas hakim sebagai fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Menjadi hakim adalah amanah besar yang menuntut keseimbangan antara kemanusiaan dan profesionalisme. Pengakuan bahwa hakim tidak sempurna namun harus menghindari perilaku tercela adalah panduan yang realistis dan membumi.
Rekomendasi penting adalah penguatan pembinaan etika dan teknis yudisial secara berkelanjutan, serta pemanfaatan teknologi digital untuk pengawasan yang efektif. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan menekan praktik korupsi, sekaligus membangun citra positif hakim dan peradilan di mata masyarakat.
Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa penyelenggaraan keadilan membutuhkan hakim yang tidak hanya cakap secara hukum tetapi juga kuat dalam integritas moral. Masyarakat pun harus diberikan pemahaman yang seimbang mengenai peran dan keterbatasan manusiawi hakim sehingga kepercayaan dapat tumbuh secara alami.