Pendahuluan
Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) secara resmi meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Permohonan tersebut disampaikan pada sidang perkara Nomor 45/PUU-XXIII/2025 yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada tanggal 9 Mei 2025. Mahasiswa menilai bahwa proses pembentukan UU TNI ini tidak memenuhi asas keterbukaan yang menjadi dasar penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Analisis: Penyebab Viral dan Dampak Sosial
Permohonan ini menjadi viral karena menyentuh isu sensitif yakni transparansi dan legitimasi dalam pembentukan sebuah undang-undang penting yang menyangkut pertahanan negara. Proses yang dianggap tidak transparan ini memicu kekhawatiran bahwa suara masyarakat luas tidak didengar dan diakomodasi dalam pembentukan UU TNI. Hal ini menimbulkan dinamika sosial, terutama di kalangan akademisi dan masyarakat sipil yang menuntut keterbukaan dan partisipasi aktif publik.
Lebih jauh, jika permohonan pembatalan ini diterima, bisa berdampak pada perubahan kembali UU TNI ke versi sebelumnya, yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum dan politik. Di sisi lain, tekanan terhadap lembaga pembentuk UU dan eksekutif untuk lebih transparan akan meningkat, memperkuat fungsi demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Data Pendukung dan Kutipan Pakar
Menurut kuasa hukum mahasiswa, Muhammad, dalam sidang tersebut menyampaikan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan harus berdasarkan asas keterbukaan dimana seluruh lapisan masyarakat memiliki kesempatan untuk memberikan masukan secara luas, baik secara lisan maupun tertulis. Hal ini sejalan dengan Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022 yang menegaskan hak masyarakat dalam memberikan masukan dalam proses pembentukan UU.
Namun, proses pembentukan UU TNI ini dinilai cacat secara formil karena tidak ada penyebarluasan draft RUU secara resmi kepada publik sebelum pengesahan. Wakil Ketua DPR RI bahkan menyatakan pada 18 Maret 2025 bahwa draft RUU yang tersebar bukanlah draft yang dibahas oleh Komisi I DPR RI.
Lebih lanjut, Presiden sebagai inisiator dinilai melanggar tata cara penyusunan UU karena mengajukan RUU tanpa naskah akademik yang diperbarui, melainkan menggunakan naskah akademik lama dari periode sebelumnya. Padahal, RUU TNI tidak termasuk dalam daftar carry over sesuai Pasal 71a UU P3, sehingga seharusnya penyusunan dilakukan ulang dari awal. Selain itu, RUU TNI juga tidak termasuk dalam prolegnas prioritas 2025, sehingga pengajuannya kepada DPR dinilai tidak memenuhi ketentuan UU P3.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Permohonan mahasiswa UI kepada MK untuk membatalkan UU TNI menyoroti pentingnya transparansi dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya undang-undang strategis seperti UU TNI. Kasus ini mengingatkan lembaga pembentuk UU dan pemerintah untuk lebih menjaga proses legislasi agar sesuai asas keterbukaan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Rekomendasi yang dapat diambil dari peristiwa ini adalah perlunya evaluasi mendalam terhadap proses legislasi, peningkatan komunikasi dan keterlibatan publik, serta pembenahan tata kelola legislasi agar lebih inklusif dan transparan. Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi Indonesia serta menjamin kualitas regulasi yang adil dan sah secara konstitusional.